Seri Pendidikan Politik :
Gerakan Perubahan Mahasiswa dan Pendidikan Tinggi di Tanah Papua
Mahasiswa takut dengan Dosen,
Dosen takut dengan Dekan,
Dekan takut dengan Rektor,
Rektor takut dengan Menteri,
Menteri takut dengan Presiden,
Presiden takut dengan Mahasiswa…!
Alhasil,
Prolog
Mahasiswa diidentikkan dengan “agent of change—agen perubahan”. Berbicara tentang perubahan erat sekali dengan mahasiswa (kaum intelektual muda). Harapan untuk perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang di dunia mana pun berada di pundak mereka (mahasiswa). Perubahan yang positif dalam pembangunan sebuah bangsa–terutama bangsa Papua yang sedang berada dalam berbagai persoalan—adalah tantangan mahasiswa Papua saat ini. Peran Pendidikan Tinggi dalam mendorong mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan perubahan di Papua sangat penting. Pendidikan Tinggi di Papua harus berani keluar dari tudingan-tudingan selama ini bahwa “perguruan tinggi di Papua hanya melahirkan mahasiswa yang tidak kritis atas berbagai soal di tanah ini”. Perguruan tinggi juga harus tidak mengobral nilai dan ijazah seperti yang dituduhkan selama ini. Perguruan tinggi terus harus berupaya untuk meningkatkan mutu dan membangun budaya-budaya ilmiah dan diskusi untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa. Peran pendidikan tinggi di tanah Papua penting untuk mendorong perubahan-perubahan yang baik.
Kita akui bahwa kata perubahan memang telah melekat pada
tubuh dan jiwa para mahasiswa. Karena memang dari mahasiswalah muncul berbagai
gerakan perubahan positif dalam sejarah. Peristiwa-peritiwa besar di dunia
selalu identik dengan peran mahasiswa di dalamnya. Mahasiswa itu lahir dari
pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi di Papua harus terus merefleksikan
diri dan berani berubah. Nah, bagaimana gerakan mahasiswa itu dimulai?
Lahirnya Gerakan
Perubahan Mahasiswa
Gerakan mahasiswa telah berkembang sejak didirikannya
Universitas Bologna Paris dan Oxford pada abad ke 12 dan ke 13. Gerakan
mahasiswa sedunia mulai muncul ketika terjadi penyerangan oleh tentara Hitler
terhadap pertemuan mahasiswa sedunia pada tangal 17 November 1939 di Praha
Cekoslowakia (Effendi Hasan, tanpa tahun). Akibat penyerbuan itu, sembilan
pemimpin mahasiswa tewas dan imbasnya Universitas Charles pun ditutup.
Peristiwa tersebut membuat mahasiswa sangat sedih karena telah melukai hati
mereka, dan ini bukan hanya di Cekoslawakia, akan tetapi juga di seluruh dunia.
Setelah kejadian ini, mahasiswa pun bangkit sebagai kelompok penentang,
peristiwa 17 November ini dijadikan sebagai International Student Day.
Selanjutnya, pada Maret 1945 di London diadakan pertemuan
yang dihadiri oleh 24 mahasiswa dari seluruh dunia. Pertemuan tersebut telah
menghasilkan satu kesimpulan untuk membentuk satu organisasi mahasiswa seluruh
dunia yang dikenal dengan nama ‘Federasi Mahasiswa Seluruh Dunia’.
Pada bulan November, pertemuan ini dilanjutkan kembali juga
di tempat yang sama selama 2 hari. Pertemuan ini dihadiri oleh 150 orang
mahasiswa dari 38 negara di dunia. Pada waktu yang sama juga telah lahir satu
lembaga mahasiswa yang didominasi oleh kelompok komunis yang diberi nama “The
Word Federation Of Democratic Youth” (WFDY).
Kelahiran organisasi ini telah memengaruhi pertemuan di
London, di mana organisasi Federasi Mahasiswa mengambil sikap beraliansi dengan
WFDY atau tidak. Di sinilah mulai terjadi perpecahan ditubuh organisasi
mahasiswa dan hampir saja organisasi Federasi Mahasiswa ini dibubarkan. Namun,
satu tahun kemudian, tepat pada 17 November 1946 diadakan kembali pertemuan
mahasiswa sedunia di Praha, Cekoslawakia. Dalam pertemuan inilah terbentuk
organsisasi mahasiswa sedunia secara resmi yang diberi nama International Union
Of Student (IUS).
Dikemudian hari, IUS mengalami perpecahan disebabkan oleh
tiga faktor, pertama, IUS gagal melakukan protes terhadap Coup D’etat di
Cekoslawakia pada Februari 1948. Sedangkan secara realita mahasiswa mengerakkan
gelombang demontrasi menentang usaha Coup D’etat. Sebaliknya, Komunis dengan
bantuan tentera merah Uni Soviet menindas aksi-aksi mahasiswa tersebut. Kedua,
kegiatan IUS berkerjasama dengan WFYD yang melaksanakan kongres di Calcutta
India pada tahun 1948. Teryata kongres tersebut dijadikan alasan oleh pihak
Komunis untuk melakukan kudeta di Asia seperti Burma, Malaysia, Filipina dan
Indonesia. Faktor ketiga adalah IUS tidak mampu melakukan protes terhadap
pemberontakan Parti Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18 September
1948.
Perselisihan semakin hebat dari tahun ke tahun hingga
menyebabkan perpecahan dalam tubuh gerakan mahasiswa. Namun, begitu perang
Korea meletus, IUS melaksanakan kongres kedua di Praha pada 22 Juni 1950. Para
mahasiswa dari negara Barat mengambil sikap menentang, mereka yang terdiri dari
21 wakil National Union Of Student mengadakan pertemuan di Stockholm Swedia.
Dalam pertemuan itulah kemudian mereka melahirkan berdirinya The International
Student Conference (ISC).
Sekelumit sejarah perkembangan sejarah gerakan mahasiswa
dunia ini memang sangat riskan dari unsur perpecahan. Organisasi mahasiswa
terpecah menjadi dua, satu bernama IUS yang berpusat di Praha, Cekoslawakia,
sedangkan satu lagi bernama ISC yang berpusat di Leiden, Belanda. Perpecahan
dalam tubuh organisasi mahasiswa ini merupakan cerminan terhadap perpecahan
politik dunia, di mana terjadi persaingan dan gesekan antara dua blok raksasa
dunia yaitu Uni Soviet versus Amerika Serikat yang terkenal dengan perang
dingin.
Akibat perpecahan di tubuh organisasi mahasiswa,
gerakan-gerakan mahasiswa lebih banyak menyusup dalam gerakan-gerakan di
tingkat nasional. Seperti Revolusi di Hongaria pada 23 Oktober 1956, mereka
menuntut agar para dosen yang menganut aliran Stalinist dipecat dari
Universitas. Mahasiswa dan rakyat bersatu padu dalam gerakan tersebut, mereka
menyerukan ’suara kemerdekaan dengan slogan kami ingikan kebebasan dan tentara
Uni Soviet harus segera meninggalkan Honggaria’.Gerakan tersebut di hadiri oleh
100.000 mahasiswa. Gerakan ini disambut oleh tentara beruang merah dengan
mengerahkan tank-tank, panser dan pesawat tempur.
Walaupun gerakan tersebut dilayani dengan kekerasan, namun
semangat perjuangan mahasiswa tidak pernah mundur, malah mahasiswa terus
bersemangat untuk memperjuangkan normalisasi sistem politik, kebebasan,
demokrasi, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Gerakan demi
gerakan terus mereka lakukan seperti di Lisbon, Portugis 1 Februari 1965.
Mahasiswa menuntut demokrastisasi dan perbaikan sistem pendidikan serta
kebebasan di Universitas.
Demikian juga gerakan di negara-negara lain baik di
Perancis, Polandia, Belgia, Belanda, Inggris, Afrikan, Maroko, Libya, Iran,
Irak, Sudan, Kenya, Turki, Nepal, Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.
Mahasiswa tetap menjadi tonggak politik untuk melakukan segala perubahan di
seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sejarah Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah pergerakan
mahasiswa. Sejarah Indonesia sebenarnya justru berawal dari gerakan organisasi
mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa tahun 1908 yang dikenal dengan Boedi
Oetomo adalah sebuah gerakan mahasiswa dengan tujuan yang jelas, yaitu
perubahan. Mohammad Hatta misalnya selama dia belajar di Belanda, bersama
teman-temannya membentuk organisasi kemahasiwaan yang dikenal dengan Indische
Vereeninging (yang selanjutnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia).
Kelahiran Perhimpunan Indonesia adalah contoh konkret bagaimana kaum terpelajar
dan mahasiswa berada di garda depan sebuah bangsa dengan misi utamanya
“menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan di kalangan rakyat
Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan”.
Masih banyak contoh lain. Gerakan mahasiswa Indonesia tahun
1920-an dimotori tokoh mahasiswa di antaranya Soetomo (Indonesische
Studie-club), Soekarno (Algemeene Studie-club). Pada tahun-tahun yang sama
terbentuk lagi Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang mencoba
menghimpun pemuda dan mahasiswa dari berbagai elemen yang menjadi cikal bakal
munculnya Sumpah Pemuda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, gerakan mahasiswa untuk
perubahan terus berlanjut. Pada tahun 1966 muncul gerakan mahasiswa yang
dikenal dengan istilah angkatan 66 (Radar Karawang, Mei 2005). Gerakan ini awal
kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional setelah Indonesia merdeka, di
mana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang sekarang berada pada lingkar
kekuasaan yaitu Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara.
Selanjutnya, Tahun 1972 muncul gerakan mahasiswa yang
dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari).
Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga
keturunan. Dan, Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional.
Tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman
Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman
Hakim.
Pada Tahun 1980-an gerakan mahasiswa tidak begitu popular
karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985,
ketika Menteri Dalam Negeri (saat itu Rudini) berkunjung ke ITB disambut oleh
mahasiswa dengan demontrasi dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri.
Buntutnya, pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out)
oleh pihak ITB (pada pemilu 2004, Jumhur Hidayat menjabat sebagai Sekjen Partai
Serikat Indonesia /PSI).
Isu yang diangkat gerakan mahasiswa tahun 1990-an adalah
penolakan diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kampus
yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Mereka menolak larangan Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan
SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan
Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan
pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).
Kebijakan ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi
mandul, karena pihak rektorat lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal
aktivis mahasiswa dengan men-DO. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah.
Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya
pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan
sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini
karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.
Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti
pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis
mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif
pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi kemahasiswaan
ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI
(Pergerakan Mahasiswa Kristen Indoenesia) atau yang lebih dikenal dengan
kelompok Cipayung.
Gerakan mahasiswa tahun 1998 mencuat dengan tumbangnya Orde
Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada
tanggal 12 Mei 1998. Gerakan mahasiswa tahun 1998 mencapai klimaksnya pada
tahun 1998, di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997.
Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang.
Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto
menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan
mahasiswa dengan agenda reformasi-nya mendapat simpati dan dukungan yang luar
biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang
ada. Kondisi di mana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama
32 tahun.
Gerakan mahasiswa tahun 1998 membawa simbol Rumah Rakyat
yaitu Gedung DPR/MPR. Rumah rakyat menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai
kota di Indonesia. Seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai atribut almamater
dan kelompok semuanya tumpah ruah di sana. Tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi
Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Pada saat itu, elemen
mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan,
turunkan Soeharto. Perjuangan mahasiswa tahun 1998 harus dibayar dengan 4 nyawa
mahasiswa Tri Sakti. Mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus
dibayar dengan tragedi Semangi 1 dan 2. Reformasi terus bergulir, perjuangan
mahasiswa tidak pernah berhenti sampai di sini. Perjuangan mahasiswa terus
tumbuh selama penguasa tidak berpihak kepada rakyat.
Bagaimana dengan
Papua?
Kenyataan sejarah pergerakan mahasiswa Papua dimulai di Biak
sekitar tahun 1934. Segelintir Mahasiswa Papua yang didik oleh van Baal yang
secara resmi mendirikan dan membangun kantor Gubernur perwakilan Belanda di
Jayapura. Mereka yang didik pada saat itu antara lain adalah N. Jouwe, M.W.
Kaiseppo, P. Torei, M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggakma, F. Poana dan
Andullah Arfan. Mereka ini boleh dikatakan orang didikan (mahasiswa/pelajar)
pertama di Papua yang melakukan perlawanan secara intelektual.
Mereka melakukan suatu gerakan untuk mengusir penjajahan
dari muka bumi Papua dengan melakukan gerakan dan memetakkan anggota Dewan
Nieuw Guinea Raad, serta merancang sebuah kehidupan yang baik di Papua. Namun
sayang, arus pergerakan kaum terpelajar ini melenceng karena di dalam tubuh
mereka ada juga ‘judas-judas’. Gerakan mereka dipatahkan oleh orang Papua
sendiri. Walaupun begitu, manuver mereka cukup dashyat, hingga saat ini sejarah
bangsa-bangsa di dunia mencatatnya.
Gerakan mahasiswa Papua kembali pada tahun 1969. Mahasiswa
Papua mengonsolidasikan diri dan turun ke jalan untuk melakukan protes atas
hasil Pelaksanaan Pepera 1969. Mereka protes pada tanggal 12 Februari 1969
karena ada kecurangan di mana pihak Indonesia yang sedang memperebutkan Papua
Barat justru yang melakukan PEPERA. Dan, dinilai tidak sesuai dengan kertetapan
New York Agrremant yang menetapkan harus ada di bawah kendali UNTHEA. Dalam
demontrasi ini, mereka menyanyikan lagu-lagu rohani, lagu-lagu perjuangan dan
yel-yel perlawanan rakyat Papua Barat. Demonstrasi ini di Pimpin oleh Herman
Wayoi dan Permenas Hans Torrey. BA. Para demonstran ini menuju ke kediam utusan
khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar Pepera harus dilaksanakan sesuai dengan
perjanjian New York yakni “One Man One Vote” dan menolak keingin Indonesia
untuk melaksanakannya atas asas musyawara mufakat melalui Dewan Musyawarah
Pepera (DMP).
Gerakan mahasiswa bangkit lagi melalu Seni dan Budaya Papua yang dipelopori oleh Arnol Ap, Sam Kapisa dan kawan-kawan (mahasiswa Uncen di Jayapura) pada tahun 1972. Gerakan ini tumbuh dan berkembang, yang kemudian pada tanggal 15 Agustus 1978 menjadikan hari jadi Mambesak. Musik ini oleh Sam Kapisa dan Arnold Ap mengganggap sebagai musik yang suci sehingga mereka menamainya Mambesak, Nuri, yang menurut orang Biak adalah burung suci, tujuannya adalah untuk menghibur hati masyarakat Papua yang sedang diintimidasi, dianiaya, diperkosa dan dibinasakan. Musik-musik mambesak memberikan kekuatan perlawanan rakyat Papua dan mengembalikan jadi diri sebagai komunitas yang beda dari bangsa lain.
Akhirnya, gerakan ini berakhir dengan kematian Arnol Ap yang
mengakibatkan 800 Masyarakat Papua melakukan pelarian ke PNG sebagai protes.
Dan, di Jakarta, Simon Otis Piaref, Johannes Rumbiak, Jopie Rumanjau dan Loth
Sarakan yang mempertanyakan kematian Ap dikejar aparat dan lompat pagar dan
meminta suaka politik di Kedutaan Belanda. Pada hari yang sama sekitar 300
masyarakat Papua mengatar mayat Arnol Ap dari Jayapura menuju tanah hitam,
tempat peristerahatan terakhirnya.
Gerakan mahasiswa Papua muncul lagi pada tahun 1996, di
Jayapura - Abepura mahasiswa Uncen dibawah pimpinan Benny Wenda melakukan
protes atas kematian Al. Dr Thomas Wanggai yang tidak wajar, “setelah diberikan
racun dengan minuman”. Mahasiswa menyambut mayat Thomas Wanggai di depan kampus
untuk penghormatan terakhir, namun apa yang terjadi, bahwa ada konspirasi
penipuan di sana, sehingga terjadi pemberontakan atas penipuan. Penipuan ini
bermuara pada pembakaran mobil, toko-toko, dan pasar raya di Abepura. Dalam
insiden ini 4 mahasiswa dan 1 anggota TNI pribumi meninggal dunia. Peristiwa
ini adalah sejarah gerakan Mahasiswa Papua yang ada dalam memori masyarakat
Papua.
Gerakan mahasiswa berikutnya adalah pecah pada tahun 1997.
Mahasiswa Papua memprotes pembantaian TNI di Mapenduma, Jila, Bela, dan Alama.
Protes ini dilakukan setelah mendapatkan laporan pelanggaran HAM oleh 3 gereja
(Katolik, KIGMI dan GKIIJ) di Tanah Papua. Gerakan ini berdampak hingga ke luar
pulau Papua. Apa lagi, saat itu adapt surat Senator Amerika Serikat yang
meminta kepada pemerinta BJ Habibi untuk memberikan kesempatan kepada
Timor-Timor dan Papua Barat.
Gerakan tahun 1997 ini kemudian melahirkan organ politik
mahasiswa Papua terbesar yang kemudian dikenal dengan nama Alinsi Mahasiswa
Papua (AMP). Sedikit sejarahnya adalah. Aliansi Mahasiswa Papua didirikan pada
tanggal 30 Mei 1998 di Jalan Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan.
Organisasi ini lahir di tengah situasi peristiwa Biak Berdarah. Di tengah
situasi politik Indonesia yang mulai goyah akibat tekanan-tekanan politik dari
gerakan prodemokrasi Indonesia terhadap regime Soeharto dan mulai menguatnya
tuntutan Reformasi Politik bagi sebuah perubahan yang berkeadilan serta terbukanya
ruang demokrasi.
Di tengah situasi politik yang demikian di Indonesia, para
mahasiswa Papua Barat dari berbagai kota di Indonesia berinisiatif membentuk
sebuah organisasi politik yang akan mewadahi tuntutan-tuntutan politik
mahasiswa Papua Barat secara jelas kepada Indonesia, terutama dalam hal “Hak
Menentukan Nasib Sendiri sebagai Bangsa yang Merdeka” seperti yang selama 40
tahun terakhir diperjuangkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan berbagai
faksi organisasi Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat Barat lainnya.
Dari sinilah cikal bakal perjuangan Pembebasan Nasional
Papua Barat secara modern mulai ditorehkan secara efektif di Indonesia. Dalam
perjalanan awal AMP banyak sekali kendala yang dihadapi karena tidak adanya
pengetahuan bersama soal penerapan mekanisme organisasi gerakan politik (bukan
paguyuban) dalam amanat perjuangan yang lebih besar. Tetapi sesuai dengan
berjalannya waktu, AMP telah menata sejumlah mekanisme baru yang lebih efektif
dalam menggerakan organisasi ini sebagai organisasi dengan kader-kader yang
terdidik, terpimpin, revolusioner, progresif, militan dan terorganisir rapi
ditiap basis perjuangan mahasiswa Papua, baik di Papua, Indonesia maupun
Internasional.
Untuk pertama kalinnya, Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi
besar-besaran pada tahun 1998. Di tengah-tengah maraknya tuntutan Kemerdekaan
Papua Barat, pada tanggal 20 Juli 1998, seluruh mahasiswa perantau dari
Sulawesi di antaranya (Menado, Toraja serta Ujung Pandang), Bali, Jawa di
antaranya (kota Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Salatiga, Yogyakarta, Bandung
serta Jakarta) dan Sumatera yang berjumlah sekitar 665 orang mahasiswa
melakukan demonstrasi di depan kantor Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) di Jakarta.
Aksi demonstrasi ini mengajukan tiga (3) buah pernyataan
sikap politik yang menuntut PBB agar segera mengembalikan kemerdekaan Papua
Barat yang telah di proklamasihkan pada tanggal, 1 Desember 1961. Mendesak
Kepada mahkama Internasional agar segera menggugat Indonesia yang dengan
sengaja menghilangkan hak-hak kebangsaan (national right) tanah dan hak bangsa
Papua Barat selama 35 tahun. Memberikan kewenangan penuh kepada PBB dan Amerika
untuk membuka kembali kasus negara Papua Barat bagi suatu penyelesaian
Internasional.
Selanjutnya, dengan menggunakan momen 1 Desember 2000
bersama kekuatan rakyat ( PDP dan Mahasiswa) sepakat untuk melakukan aksi damai
di seluruh wilayah Papua. Hal yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa Papua
se-Jawa-Bali dengan menggunakan nama Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP).
Aksi ini berujung bentrok dan mengakibatkan 1 orang terkena tembakan peluru dan
4 mahasiswa ditangkap antara lain Mathius Rmbrapuk (Salatiga), Hans Gobay
(Solo), Laun Wenda (Bandung), Joseph Wenda (Jakarta) dengan tuduhan makar dan
penghinaan kepada negara serta mengganggu ketertiban umum.
Setelah panangkapan ke-4 Mahasiswa, FNMP bersama Intitut
Sosial Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta membentuk Tim Advokasi Papua
(TIVA PAPUA) untuk mendampingi proses hukum.
Untuk melakukan konsolidasi yang maksimal maka pada tanggal
13 Januari 2001 di Semarang FNMP melakukan konsolidasi pimpinan-pimpinan
sehingga Pengurus Harian terbentuk saat itu dan sebagai Ketua Denny Felledari
utusan Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR)Yogyakarta dan sebagai Sekretaris
Jenderal Petrus Tekege dari utusan Jaringan Independent untuk Aksi Kejora
(JIAJORA) Semarang serta pengurus-pengurus kota, antara lain Semarang, Bandung,
Salatiga, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Bali.
Untuk melakukan kerja-kerja yang lebih terukur dan maksimal
maka pada tanggal 15-16 September 2002 FNMP melakukan konsolidasi
pimpinan-pimpinan organisasi melalui konfrensi II di Surabaya dan mengangkat
Hendrik Sorondanya sebagai ketua. Selanjutnya, FNMP melakukan 3 kali pertemuan
dengan beberapa organ di Jayapura seperti SONAMAPA, FKNMPB, dan FSMP. Maka,
pada tanggal 13 Februari 2005 di Teras FISIP UNCEN disepakati dan telah di
bentuk Panitia untuk wilayah Papua dalam rangka menjalankan kerja-kerja menuju
Kongres FNMP. Organ-organ tersebut telah menyatakan kesiapannya untuk melakukan
penyatuan dengan FNMP.
Dari tahapan konsolidasi tersebut terbentuklah Front
Persatuan Mahasiwa Pemuda Demokratik Papua Barat (FPMDPB). FPMDPB didirikan
sesuai kesepakatan bersama dalam Pra Kongres Mahasiswa Wilayah Papua tanggal 10
April 2005 bertempat di HOLTE KAMP Jayapura yang melibatkat masing – masing
perwakilan FSMP, FKMP, FORGAPEMAKO, FKMNPB, PARLEMEN JALANAN, SONAMAPA, FMKB,
FNMP dan DEHALING.
Pada tanggal 23 September 2007 melalui Kongres FNMP
melakukan perubahan nama yang semula Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP)
menjadi Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (FNMPP) dengan kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua periode
2007–2009, Ketua Umum, Zakarias Horotta dan Sekretaris, Jenderal Elias Weah.
Pengalaman aksi masa pengembalian Otsus yang dimotori oleh
mahasiswa di Jayapura pada tanggal 12 Agustus 2005, maka pada tanggal 25
Agustus 2005, bertempat di Aula STFT Fajar Timur, telah diadakan sebuah diskusi
kritis yang menhasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: tentang pembentukan
front, nama front dan pada payung mana front ini bernaung. Apakah PDP atau OPM
ataukah Independen? Diskusi itu menunjuk beberapa orang, mewakili organisasi
masing-masing yang akan menjadi tim kerja untuk melaksanakan tugas-tugas
terkait persiapan deklarasi front politik taktis ini.
Organisasi mahasiswa Papua yang telah sepakat untuk
meneruskan proses pembentukan front ini adalah (1) Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP), (2) Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DeMMaK), (3) Dewan Adat
Mamberamo-Tami (MAMTA), (4) Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP), (4) Asosiasi
Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), (5) Koalisi Perjuangan
Hak-hak Asazi Sipil Rakyat Papua, (6) Parlemen Jalanan, (7) Aliansi Perempuan
Papua (APP Mamta), (8) Komite Mahasiswa Papua (KMP), (9) Front Persatuan Pemuda
Mahasiswa Demokratik Papua Barat (FPMDPB), dan (10) serta (11) Solidaritas
Perempuan Papua (SPP).
Masing-masing organisasi mahasiswa mengutuskan tiga orang
wakilnya untuk duduk dalam Komite Persiapan Pembentukan Front (KPPF) Persatuan
Perjuangan Rakyat (PEPERA) Papua Barat, atau disingkat KPPF PEPERA Papua Barat.
Akhirnya, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (F-PEPERA-PB)
terbentuk.
Gerakan-gerakan perubahan mahasiswa terus dilakukan baik
melalui FMNP- PB, AMP-PB, AMPTPI, dan yang terbaru yaitu Komite Nasinal Papua
Barat, dan Ikatan-ikatan Pelajar dan Mahasiswa serta forum-forum studi di
bidang kuliah dan juga di setiap kampus di berbagai kota studi. Kesemua organisasi
ini tampak memiliki satu muara yaitu perubahan bagi masyarkat Papua dan di
Jawa-Bali, baik sosial politik, sosial ekonomi, sosial kesehatan, social budaya
dan sebagainya. Melalui organisasi-organisasi inilah mahasiswa Papua
memperlihatkan eksistensinya melakukan perannya sebagai agent of change and
social control, pelaku dalam perubahan. Dan, dari organisasi-organisasi ini
memiliki potensi bagi lahirnya para pemimpin Papua di masa depan.
Gerakan perjuangan mahasiswa yang digambarkan di atas ini
tidak semudah yang kita bayangkan. Perubahan ini harus dibayar mahal darah oleh
timah petugas aparat yang tidak mengharapkan perubahan itu terjadi. Sejarah
panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti, kontribusinya,
eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa dalam memberikan
perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Peran mahasiswa terhadap bangsa ini bukan hanya duduk di
depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga memunyai
berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa. Peran tersebut
adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai
kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum
yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu
yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada
pada suatu kaum.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri di
dalam dada mahasiswa baik yang ada di dalam negeri maupun mahasiswa yang sedang
belajar di luar negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah
pegangan bagi seluruh mahasiswa, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus
bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa.
Gerakan perjuangan mahasiswa tidak boleh berhenti sampai
kapan pun, gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan bergerak
bersama-sama untuk berdemonstrasi dan berorasi di jalan-jalan saja, akan tetapi
wahai para “agent of change”, cobalah untuk bertindak bijak dengan
intelektualisme, idealisme, dan keberanianmu untuk bisa senantiasa menanamkan
ruh perubahan yang ada dalam dirimu untuk bisa memberi kebaikan dan berperan
besar serta bertanggung jawab untuk memberikan kemajuan bangsa, sehingga
seperti Hasan al Banna katakan “goreskanlah catatan membanggakan bagi umat manusia”.
Membaca dan Menulis
(Meneliti), Lanjutkan Gerakan Perubahan
Nah, apa yang harus dilakukan mahasiswa Papua sekarang untuk
terus melakukan perannya sebagai “agent of change—agen perubahan”? Salah satu
hal yang perlu terus dilakukan adalah melihat diikuti membaca dan menulis. Di
lembaga-lembag pendidikan pun tradisi lisan mendominasi proses belajar mengajar
sehingga minat baca-tulis jarang berkembang. Budaya lisan mendominasi
kampus-kampus kita.
Membaca dan menulis untuk perubahan ke arah yang lebih baik
sangat berarti karena mengurangi beban memori ingatan kita. Membaca dan menulis
adalah salah satu cara untuk meningkatkan gerakan perubahan. Membaca juga akan
terus meningkatkan kepekaan kita akan realitas sosial yang kita hadapi.
Jadi, kurangilah tradisi lisan, mendengar dengan membaca dan
menulis, tukarkan pembelian barang-barang yang tak memberi input bermakna
dengan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, luangkanlah waktu sejenak dengan
membaca di perpustakaan karena masa depan kita ditentukan masa hari ini dan
masa hari ini ditentukan masa yang lampau.
Selain membaca dan menulis karya populer, hal lain yang
mesti dilakukan adalah penelitian. Penelitian dari kata dasar teliti dan
meneliti sebagai kata kerjanya, diartikan sebagai proses penelitian yang dilandasi
oleh pemikiran ilmiah (didasari konsep ilmiah, teori, ataupun paradigma ilmiah)
untuk menemukan kebenaran ilmiah (menemukan konsep maupun teori baru).
Setiap orang bisa saja meneliti. Namun tidak semua orang
mampu meneliti dengan baik dan benar (valid and reliable). Bahkan, bagi
seseorang yang telah memiliki pengalaman penelitian yang banyak masih sering
mengalami kesalahan. Bisa dibayangkan bagi kita yang masih kurang atau bahkan
tidak memiliki pengalaman penelitian sama sekali. Tentunya kesalahan-kesalahan
dalam membuat kerangka berpikir ilmiah untuk ditorehkan dalam penelitian
merupakan hal yang wajar.
Penelitian bukan sekedar menuliskan kalimat positif tentang
apa yang menjadi masalah dan menarik untuk diteliti. Kemudian membuat kerangka
teoritik yang banyak dan menjabarkannya dalam suatu metode tertentu. Namun,
lebih penting dari suatu penelitian adalah bagaimana kita mampu merangkai
penelitian dalam suatu logika yang berkesinambungan, mulai dari perencanaan,
pembahasan topik, penguasaan masalah hingga ketepatan dalam menentukan metode
apa yang digunakan. Ini merupakan langkah awal untuk kemudian menjadikan
penelitian kita nantinya mampu dipertanggungjawabkan dan bermanfaat untuk
gerakan-gerakan perubahan.
Penelitian sebetulnya merupakan sebuah momentum untuk
mengetahui seberapa besarkah kompetensi kita dalam suatu displin ilmu tertentu
dan seberapa besar penguasaaan kita pada ilmu tersebut. Dengan melakukan
penelitian, maka kita akan tahu dimana letak kelebihan dan kekurangan kita dan
lebih dari itu kita akan semakin memahami persoalan untuk bertindak.
Seorang peneliti yang sedang meneliti berarti dirinya sedang
merefleksikan dan mengekspresikan keingintahuannya terhadap sesuatu. Timbul
kepuasaan ketika seorang peneliti dapat menyelesaikan penelitiannya dengan
baik. Terlebih penelitiannya tersebut dapat langsung bermanfaat bagi orang
banyak. Selain itu, ketika sedang meneliti, berarti seorang peneliti sedang
merefleksikan hasratnya dan segenap pengetahuan yang di-milikinya agar masalah
yang ditelitinya dapat dterpecahkan.
Ketentuan lain yang mesti dimiliki oleh seorang peneliti
adalah fokusnya terhadap pemecahan masalah. Artinya, seorang peneliti
betul-betul menguasai apa yang menjadi permasalahan dan apa yang perlu untuk
dilakukan guna mencari pemecahannya (kompeten). Selain itu, sifat yang perlu
dimiliki oleh seorang peneliti adalah kejujurannya dalam mengungkapkan
fakta-fakta yang ada dan dalam mengkaji masalah yang sedang ditelitinya.
Lebih jauh, seorang peneliti juga harus objektif dalam
melaksanakan penelitian. Suatu kebenaran yang dicari dari sebuah penelitian
akan didapat dari seberapa objektifkah kita dalam melakukan penelitian.
Berpikir terbuka terhadap segala kemungkinan yang muncul dalam penelitian
merupakan ketentuan lain yang mesti ada dalam diri peneliti.
Dengan demikian, peneliti nantinya mampu menelaah dan
memberikan penyelesaian jawaban terbaik atas persoalan yang ada di lingkungan
kita. Gerakan-gerakan perubahan yang berdasarkan pemahaman persoalan baik
melalui pengamatan maupun penelitian yang mendalam adalah bentuk pengabdian
kita pada perubahan ke arah yang lebih baik.
Kepekaan Sosial Mahasiswa dan Dilema Pendidikan Tinggi
Mahasiswa mestinya adalah kelompok intelektual yang memiliki
kepekean sosial. Dan, dari mana kepekaan sosial itu lahir? Kepekaan itu lahir
proses belajar (membaca, diskusi, menulis dan lainnya). Maka penciptaan
kesempatan untuk memahami realita sosial dengan berbagai kegiatan akademik dan
sosial adalah penting. Kalau melihat kondisi nyata saat ini, masyarakat asli
Papua hidup sangat memprihatinkan, baik dari sisi kehidupan ekonomi, budaya,
politik dan lainnya. Kondisi ini mestinya menjadi suatu semangat kita untuk
belajar di perguruan tinggi dengan harapan besar dapat mengubah kondisi ini.
Marso (Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Muslim Purworejo)
mengatakan, ada lima hal yang melatarbelakangi penyebab tumbuhnya kepekaan
mahasiswa terhadap berbagai persoalan yang ujungnya bertitik fokus pada
perjuangan membela kepentingan rakyat (http://ikhwahmuda.wordpress.com/2007/04/01).
Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang
memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup
luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.
Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut
dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang
di antara generasi muda.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di
kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara
mereka.
Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki
lapisan atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan
tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda.
Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran,
perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan
masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya
ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.
Peran pendidikan tinggi di Papua untuk menumbuhkan kepekaan
sosial mahasiswa adalah penting. Pendidikan tinggi di Papua diharapkan ikut
mendorong dengan gerakan-gerakan perubahan dengan menciptakan lima hal di atas
untuk menumbuhkan kepekaan sosial mahasiswa.
Pendidikan tinggi diharapkan mendorong mahasiswa Papua peka
dengan keadaan sosial dengan dasar intelektualitas, moril, dan spiritual yang
baik pula. Pendidikan tinggi terus harus berupaya membangun kepekaan sosial
mahasiswa dengan dasar intelektualitas, moral, dan spiritual untuk memimpin
rakyatnya agar tidak mudah dibodohi.
Yang menjadi persoalan saat ini, peran mahasiswa sebagai
agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor
perubahan yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit
sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Kenapa hal itu terjadi?
Ada pendapat bahwa sistem pendidikan yang hanya ingin
menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring”
mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan
aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan
pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah
ada di depannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat
lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya.
Sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya
mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu, banyak lulusan sarjana
yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa
kuliah. Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini
sedang digalakkan oleh perguruan tinggi. Efek negatif yang dapat timbul pada
diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study
Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir
bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A, tanpa mau
memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.
Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang
tipis.
Dalam kondisi seperti itu, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan
yang dapat meningkatkan kepekaan sosial mahasiswa dan penanaman nilai dan moral
berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebenarnya diramaikan dengan
aktivitas dan kreativitas mahasiswa jarang ada. Banyak mahasiswa yang
berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain
tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus
meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang
berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama, apalagi bergerak
untuk perubahan.
Epilog
Mahasiswa sebagai agent of change and social control tak
akan pernah berubah. Mahasiswa sebagai pelopor perubahan harus tetap menjiwai
diri mahasiswa dan tak akan usang walau ditelan zaman. Lagi pula, mahasiswa
merupakan iron stock bangsa di masa depan, sesuai dengan jargon yang kerapkali
diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu, perlu adanya
orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin
di masa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat
terwujud.
Untuk perubahan itu, peran pendidikan tinggi di tanah Papua
sangat diperlukan, juga peran pemerintah daerah. Dalam konteks Otsus Papua,
pemerintah mendukung dalam bentuk membangun fasilitas belajar dan peningkatan
mutu pendidikan yang dapat membangun kesadaran kritis mahasiswa dengan tidak
hanya memiliki berintelektual tetapi punya moral (karakter).
Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu
bukti, kontribusinya, eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa
dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Peran mahasiswa terhadap bangsa dan negeri ini bukan hanya
duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga
memunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Papua,
peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan
menyampaikan nilai-nilai kebaikan.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri
didalam dada mahasiswa Papua baik yang ada di Papua maupun mahasiswa yang
sedang belajar di luar Papua. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah
pegangan bagi seluruh mahasiswa Papua, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa
terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Papua.
Gerakan perjuangan mahasiswa Papua tidak boleh berhenti
sampai kapan pun, gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan
bergerak bersama-sama untuk berdemonstrasi dan berorasi di jalan-jalan saja,
akan tetapi wahai para “agent of change”, cobalah untuk bertindak bijak dengan
terus membaca, menulis dan bertindak. Belajarlah dari sejarah untuk membuat
sejarahmu!**
maaf , saya mau bertanya..
ReplyDeletesumber untuk sejarah gerakan mahasiswa papua itu didapatkan darimana ? saya ingin menulis skripsi mengenai orang papua di surabaya. jika anda mengetahui informasi mengenai hal tersebut anda bisa menghubungi saya di 081331155096. terimakasih
maaf , saya mau bertanya..
ReplyDeletesumber untuk sejarah gerakan mahasiswa papua itu didapatkan darimana ? saya ingin menulis skripsi mengenai orang papua di surabaya. jika anda mengetahui informasi mengenai hal tersebut anda bisa menghubungi saya di 081331155096. terimakasih